Epilog Harian di Naskah Tuhan
Hari ini senja tidak dinyalkan. Matahari
memilih meredup dan awan-awan hitam sepakat berkumpul di atas langit kota
metropolitan. Ada sedikit kebingungan di kepala para pekerja.
Perempuan berkemeja putih dengan rok hitam
selutut berlari menuju halte bus. Rambutnya sedikit berantakan karena terlalu
sering dihadapkan persoalan kantor.
"Shit! Omg, sial banget sih hari ini
gua. Udah dimarahin bos, mau ujan. Pacar gak bisa jemput," dan blablabla
lainnya terus dilontarkan sepanjang jalan.
Tuhan tertawa terbahak-bahak. Hari ini
istananya penuh dengan para demonstran. Beberapa bertindak anarkis dan terus
menghardik Tuhan seolah-olah ada kesalahan pada skenario milik-Nya. Tapi, Tuhan
memang macam selebriti. Tidak peduli manusia-manusia jalang minim attitude
berkomentar. Ada juga yang kesal, nekat menantang Tuhan.
Lagi-lagi. Tuhan tertawa lagi. Jangan sibuk
menerjemahkan tulisan.
Tuhan Maha Baik. Atas apa pun skenario yang
tertulis dalam naskah milik-Nya. Tuhan tidak lupa.
Hari ini senja tidak dinyalakan. Tapi sisa
umur terus dikurangi.
Sementara setiap hari Tuhan selalu
memanggil dengan suara adzan. Saatnya doa-doa dipanjatkan. Tuhan Maha
Mendengar. Tapi seringkali berdialog dengan Tuhan menjadi hal yang
ditinggalkan.
Hingga masing-masing pemeran akan menemui
satu adegan.
Sebuah panggilan mendesak.
Tidak bisa ditolak. Dimaju mundurkan macam
hari-hari yang lalu kita bernegosiasi dengan Tuhan. Tidak bisa. Tuhan bukan
lagi kongsi dagang.
Sebuah panggilan untuk pulang. Entah di
hari keberapa kita bernafas. Di kali keberapa kita menikmati epilog harian-Nya.
Dengan senja yang merekah atau hujan mengguyur kota.
Tapi, teman. Masih ada sedikit waktu. Masih
ada epilog yang barangkali tak sempat kita baca dan Tuhan mengizinkan kita
menikmatinya. Taruhlah syukur di atas segalanya.
Rabu, 7 Februari 2018
Nasehat untuk penulis. Ayok ingat mati. Dialog dengan Tuhan.
Komentar
Posting Komentar