Pada Suatu Pagi

Pada suatu hari, aku akan bangun lebih pagi dari matahari. Bukan untuk membuatkanmu sarapan, hanya untuk menulis puisi. Sambil mengamat-amati wajahmu yang ku pikir tidak lagi mirip Nicholas Saputra, aku bingung harus mulai dari mana.  Ketimbang memberiku bunga, kamu lebih sering kentut sembarangan. Ketimbang mengatakan aku cantik, kamu lebih sering berkomentar aku galak. Kamu sering meletakan handuk sembarangan di tempat tidur, dan baju-baju diletakan tidak sesuai tempatnya. Kita berebut remot TV untuk hari libur yang penuh. Kehabisan kata-kata untuk saling memuji.

Aku bingung harus mulai dari mana. Tapi ternyata, kita melewatinya bersama dengan jenaka.

Pada suatu hari, aku akan bangun lebih pagi dari matahari. Memakai kaos barumu yang kebesaran di badanku. Mengatur musik dan alarm yang sengaja ku letakan persis di samping telingamu.

“Tiga… dua … satu…” kataku lirih dan takut-takut. “Kriiinggggggggggggggg”. Kamu terbelalak kaget karena bunyinya. Aku bersorak-sorak seperti anak kecil menjaili temannya. Kamu melotot kaget ke arahku. Tentu saja bukan karena aku cantik, tapi kaos barumu? Kamu seperti putus asa melihatku. Kemudian mematikan alarmnya, dan tidur lagi. Aku seperti putus asa melihatmu. Tapi tentu saja tidak memilih untuk tidur lagi.

Aku mengambil lipstikku yang paling merah. Menandai wajahmu dengan simbol hati.

“You’re mine,” begitu kataku. Kamu sedikit terpaksa untuk bangun, tapi tidur juga bukan tidur namanya kalau perempuan di sampingmu itu membuat gaduh.

Seperti sebuah tatapan permohonan, “Aku masih ngantuk. Aku masih mau tidur,” berbalas tatapan, “Ini hari pertama masuk sekolah”.

            Dengan empat-lima detik berlalu. Kamu sepakat untuk tidak tidur lagi.

“Happy anniversary,” katamu membuat mataku terlihat lebih terang dari sinar matahari pagi. Aku memutar musik pada piringan hitam yang terpasang di pojok kamar Musik jazz saat hari dimana kamu memasangkan cincin putih itu ke jari manisku. Tidak. Hari itu aku tidak mencintaimu melebihi aku mencintai seseorang, masa laluku. Tapi kita melewati semua bersama dengan penuh jenaka. Tidak ada yang pergi. Tidak pernah ada selain aku dan kamu. Tidak saling meniadakan.

Masih dengan gaya yang sok keren, kita menghabiskan lima lagu untuk menari dan bernyanyi. Kamu masih saja salah lirik di bagian yang sama. Aku masih saja protes dengan cara yang sama, mengulangi lagunya dari awal. Dengan perpaduan suara yang semuanya terkesan “pas-pasan” kita menghabiskan pagi di tahun ke-10 pernikahan, lagi-lagi dengan jenaka.

“Apa aku masih terlihat cantik?” tentu saja kamu akan lebih sepakat bahwa ini bukan kalimat tanya. Ini seperti sebuah paksaan bahwa kamu harus mengatakan “Iya” dalam bentuk kalimat yang lebih panjang. Misalnya, “ Tin, kecantikan sejati terpancar dari caramu merawat hubungan kita,”  atau “Aku tetap mencintaimu berapapun usiamu. Kamu cantik.”

Pukul 06.30. Ini hari libur. Lebih tepatnya marilah kita meliburkan diri dari dunia yang terlau luas, untuk tinggal sejenak di dunia yang sempit nun hangat ini: keluarga. Suara gaduh di balik pintu. Ketukan berkali-kali sambil memanggil “Ayah … Ibu,”

Kita akan segera membuka pintunya. Berlomba untuk mendapat pelukan pertama dari gadis kecil yang menggandeng anak laki-laki di sebelahnya.  

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menghapus Standar "Cantik" yang Menyebalkan

Tuan Berjaket Biru