Ia, Jadi Matahari Pagi
Mereka pernah berjanji untuk pergi ke sebuah kota. Menghabiskan malam hanya untuk berputar-putar, menghitung bintang, atau lampu jalan yang warna-warni. Rencana yang tidak lebih jitu dari maunya semesta.
Tidak ada kota hari ini.
Tidak ada warna-warni yang terang.
Hanya hijau, biru, dan teduh.
Percakapan dan gelak tawa yang membentur keras pohon yang menjulang itu.
Ini tempat rahasia, tapi tidak lebih dari perasaan salah satunya.
Ia matahari pagi, membentuk bayang-bayang di barat.
Senja dan bayang-bayang adalah hal yang paling kau kagumi. Maka, dalam setiap ceritamu, matahari pagi tidak pernah punya tempat.
Bukan begitu?
Dan, setengah perjalanan pulangnya jadi lebih dingin. Ia ingin menangis, agar kelopak matanya menjadi hangat. Ia ingin memasukan tangannya ke dalam saku celana, tapi disana terlalu banyak kenangan. Ia pilih menghilang saja.
Seperti bunglon yang menyamar di antara hijau daun dan cokelat dahan pohon tua yang kokoh.
"Tidak apa-apa," artinya adalah ini menyakitkan, tapi aku kehabisan kata-kata.
Syukurlah, hari itu tetap melaju. Jangan memberinya tatapan bertanya lagi. Biarkan ia menangis diam-diam dan seperti caramu tidak peduli. Biarkan ia merasa sia-sia dan jangan minta maaf lagi.
Tapi kau ingin tahu apa yang ia katakan tanpa bahasa seperti puisi?
Aku mau nangis! Aku mau nangis yang kenceng sambil dipeluk. Kau selalu lebih memilih untuk memikirkan perempuan yang bukan aku! Kau bilang ia menangis saat kau memilih orang lain yang bukan aku juga? Aku menangis. Aku menangis lebih sering dari yang orang lain tahu. Aku merasa sia-sia dan tidak pernah punya peran. Aku selalu bertanya, "untuk apa?" dan "siapa" aku dalam cerita ini. Orang-orang punya panggung untuk menangis dan memamerkan perasaan itu. Aku mati-matian menutup mulut untuk hal yang paling ingin ku maki dan teriaki.
Aku tahu semua ceritanya, dari semua sudut pandang, dari perempuan itu, darimu, dari perempuan itu. dan aku tahu aku begitu menyayangimu, itulah kenapa aku menangis. Karena aku melihat semua tokoh dalam ceritanya menangis. Aku tahu orang lain tidak akan sempat mengerti, jadi akulah yang harus mengerti. Tapi aku mau dengar... aku mau dengar aku ini siapa di matamu?! Aku mau dengar... aku mau dengar untuk apa hal-hal tidak mudah ini harus dilalui. Aku mau dengar setiap kali mulai lupa. Itu akan mlebihi jadwal minum obat yag cuma 3 x sehari.
Tidak ada yang lebih protagonis dan antagonis dari siapapun. Tidak pernah ia menyusun paragrafnya agar ada yang berhak dihakimi. Ia menyayangimu, kamu menyayanginya, ia menyayangimu juga, tapi keadaan terlanjur sulit.
Dan, bolehkah ... bolehkah kita reda dengan tidak membawa perasaan buruk itu? Semua orang tengah berjuang dan merasa sakit. Bolehkah kita reda dengan tidak membawa perasaan buruk itu? Segera.
Komentar
Posting Komentar