Postingan

Ia, Jadi Matahari Pagi

Mereka pernah berjanji untuk pergi ke sebuah kota. Menghabiskan malam hanya untuk berputar-putar, menghitung bintang, atau lampu jalan yang warna-warni. Rencana yang tidak lebih jitu dari maunya semesta. Tidak ada kota hari ini. Tidak ada warna-warni yang terang. Hanya hijau, biru, dan teduh. Percakapan dan gelak tawa yang membentur keras pohon yang menjulang itu.  Ini tempat rahasia, tapi tidak lebih dari perasaan salah satunya. Ia matahari pagi, membentuk bayang-bayang di barat. Senja dan bayang-bayang adalah  hal yang paling kau kagumi. Maka, dalam setiap ceritamu, matahari pagi tidak pernah punya tempat.  Bukan begitu? Dan, setengah perjalanan pulangnya jadi lebih dingin. Ia ingin menangis, agar kelopak matanya menjadi hangat. Ia ingin memasukan tangannya ke dalam saku celana, tapi disana terlalu banyak kenangan. Ia pilih menghilang saja.  Seperti bunglon yang menyamar di antara hijau daun dan cokelat dahan pohon tua yang kokoh. "Tidak apa-apa," artinya adalah in...

Tidak Ada Nama

 Maka biarlah ia tidak bernama lagi. Tidak mengenalkan diri pada siapa pun.  Tidak terhitung, tidak perlu dihitung yang jatuh dan yang tumbuh pada tempat bernama rahasia. "Mars, Albert Camus bilang ... hidup ini tidak bermakna. Upaya untuk menemukan makna selalu berujung pada sebuah kegagalan," "Kau percaya?" "Belum selesai," Tapi ia ada. Ia mentari pagi lewat celah di kaca jendela. Kau membentuk bayang-bayang di ubin tua yang rusak, di dinding yang kosong. Sambil membaca sajak-sajak Sapardi, kau berjalan seiring dengannya, ke timur dan barat, ke arah yang ia tuju.  "Satu-satunya kenyataan yang sering ditolak adalah ketidak jelasan. Padahal, hidup memang nggak jelas. Kenyataan nggak pernah serapi apa yang kita pikirkan," Ia menyala seperti api yang kecil. Meliuk-liuk tertiup angin. "Kau, benar. Kita terlalu sering menyangkal, menambah-nambah daftar kata 'seharusnya dan sebaiknya', mendewakan pola pikir, sampai lupa untuk berjalan,...

Pada Suatu Pagi

Pada suatu hari, aku akan bangun lebih pagi dari matahari. Bukan untuk membuatkanmu sarapan, hanya untuk menulis puisi. Sambil mengamat-amati wajahmu yang ku pikir tidak lagi mirip Nicholas Saputra, aku bingung harus mulai dari mana.   Ketimbang memberiku bunga, kamu lebih sering kentut sembarangan. Ketimbang mengatakan aku cantik, kamu lebih sering berkomentar aku galak. Kamu sering meletakan handuk sembarangan di tempat tidur, dan baju-baju diletakan tidak sesuai tempatnya. Kita berebut remot TV untuk hari libur yang penuh. Kehabisan kata-kata untuk saling memuji. Aku bingung harus mulai dari mana. Tapi ternyata, kita melewatinya bersama dengan jenaka. Pada suatu hari, aku akan bangun lebih pagi dari matahari. Memakai kaos barumu yang kebesaran di badanku. Mengatur musik dan alarm yang sengaja ku letakan persis di samping telingamu. “Tiga… dua … satu…” kataku lirih dan takut-takut. “Kriiinggggggggggggggg”. Kamu terbelalak kaget karena bunyinya. Aku bersorak-sorak seperti an...

Berjalan

  Berjalan, sayang. Dalam langkah yang satu-dua lebih lamban dari biasanya, bisa ku lihat warna daun menguning, pohon tua bijak tersenyum kepada angin yang meniup-niup awan putih malu-malu itu. Dituangkannya resah, takut, dan tanya pada warna kelabu sebelum hujan turun di kotamu yang hening. Telpon rumah berdering dengan nada yang itu-itu saja. Di zaman modern ini, orang lebih suka dengan hal-hal baru, sebentar dipakai sebentar diganti, dan - tidak terjadi percakapan di ruang yang sempit hari itu.  Maka kita berlari ke tanah lapang.  Aku tiba lebih awal dengan sepatu yang besar sebelah. Seperti cara badut bekerja, aku membiarkan orang lain tertawa, tapi aku tidak pandai melucu, jadi mereka tidak melempar koin dari sakunya yang kembung. Ramai orang bersorak-sorak menonton pertandingan. Saling adu. Siapa cepat dia dapat. Ah, apalah hal itu, sayang. Tidak lebih dari satu menit aku berlari, tiba lebih awal, tidak mendapat apa-apa. Berjalan, sayang.    Setibanya di r...

Menghapus Standar "Cantik" yang Menyebalkan

Setiap anak perempuan dibesarkan melalui kelembutan Rabb-Nya. Perempuan, makhluk indah dengan sejuta teka-teki yang dimilikinya selalu menorehkan cerita yang tidak ada habis-habisnya. Aku, seorang anak perempuan yang dibesarkan dalam keluarga yang sangat sederhana. Jauh sekali dari kata sempurna. Apalagi untuk sekedar memenuhi standar “cantik” yang mayoritas orang buat, aku sudah mulai sedikit abai memikirkannya. Aku ingin menjadi diri sendiri, tidak ingin merepotkan diri sendiri, meyayangi diri sendiri, dan melakukan apapun untuk diri sendiri. Ada satu hal yang begitu akrab denganku sejak aku kecil. Body shaming . Lelucon tumpul yang amat-sangat tidak lucu ini begitu mudah digandrungi mereka yang dianugrahi fisik yang, mungkin, lebih sempurna dariku. Ideal di mata mereka, dipaksa untuk ada dalam diriku. Hingga akhirnya, jika ada yang tidak sesuai, aku marah pada pemberian Tuhan. Melihat diriku lebih inferior dibanding perempuan lain. Fesimis pada apapun yang aku lakukan. Seh...

Kun Anta

Kita sering mengatakan, "Kun Anta! Jadilah diri sendiri!" Tapi, apa hakikatnya menjadi diri sendiri itu? Apakah menjadi diri sendiri berarti "pencuri ya pencuri saja/bodoh ya bodoh saja/pakaian sexy ya pakaian sexy saja/hidupku ya hidupku/arogan dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain?" Setiap manusia yang dilahirkan pasti punya karakteristik dan potensi masing-masing. Allah titipkan hati nurani yang pada dasarnya selalu menuntun kita ke arah kebaikan. Allah juga titipkan bakat dan minat pada setiap orang agar mereka bisa tumbuh menjadi diri sendiri dan dapat memberi manfaat sesuai kemampuan masing-masing. Kita tidak perlu membanding-bandingkan rupa, harta, gaya berpakaian, jabatan dan semua soal duniawi kita dengan orang lain. Kita cukup menjadi diri sendiri. Tapi, perlu diingat bahwa menjadi diri sendiri bukan berarti berhenti memperbaiki diri. Artinya, kita juga tidak boleh menutup mata, telinga dan hati kita untuk mendengar nasehat-nasehat...

Epilog Harian di Naskah Tuhan

Hari ini senja tidak dinyalkan. Matahari memilih meredup dan awan-awan hitam sepakat berkumpul di atas langit kota metropolitan. Ada sedikit kebingungan di kepala para pekerja. Perempuan berkemeja putih dengan rok hitam selutut berlari menuju halte bus. Rambutnya sedikit berantakan karena terlalu sering dihadapkan persoalan kantor. "Shit! Omg, sial banget sih hari ini gua. Udah dimarahin bos, mau ujan. Pacar gak bisa jemput," dan blablabla lainnya terus dilontarkan sepanjang jalan. Tuhan tertawa terbahak-bahak. Hari ini istananya penuh dengan para demonstran. Beberapa bertindak anarkis dan terus menghardik Tuhan seolah-olah ada kesalahan pada skenario milik-Nya. Tapi, Tuhan memang macam selebriti. Tidak peduli manusia-manusia jalang minim attitude berkomentar. Ada juga yang kesal, nekat menantang Tuhan. Lagi-lagi. Tuhan tertawa lagi. Jangan sibuk menerjemahkan tulisan. Tuhan Maha Baik. Atas apa pun skenario yang tertulis dalam naskah milik-Nya. Tuhan tidak lupa...